Rabi’ah al-Adawiyah - kisah islami

ilmu pengetahuan tentang islam

Post Top Ad

Your Ad Spot

Tuesday, May 21, 2019

Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah al-Adawiyah

kisah islami- assalamualaikum wr wb nama Rabi’ah al-Adawiyah harum sebagai seorang sufi perempuan pertama banyak kisah kisah hidup rabi'ah al-adawiyah menjadi contoh dan teladan bagi kita dan bagaimana seorang hamba mengejar ke cintaanya kepada sang pencipta  . Sosok bernama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah itu lahir pada suatu malam di Basrah (Irak) pada 717 Masehi. Ayah dan ibunya berasal dari suku Atiq yang bersahaja. dari pertama lahir dan tumbuh dewasa allah swt menjaga nya.

Sururin dalam Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Illahi (2000) mengutip Fariduddin al-Attar yang merawikan betapa memprihatinkan keluarga ini. Rumah mereka gelap gulita ketika Rabi’ah lahir. Sebab, tidak ada setetes pun minyak untuk menerangi lampu. Bahkan, tidak terdapat sehelai kain pun untuk melindungi bayi yang baru lahir itu dari hembusan angin dingin. Namun, tanda-tanda kebaikan dalam diri Rabi’ah al-Adawiyah sudah mulai tampak. dan tanda tanda seorang yang bakalan menjadi kekasih allah swt ada pada diri nya Rabi’ah al-Adawiyah

Ayah Rabi’ah dikisahkan akhirnya tertidur sambil memeluk bayi perempuannya. Dalam tidurnya, pria itu mimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW yang berkata, “Janganlah engkau bersedih hati karena putrimu yang baru lahir itu kelak akan menjadi orang yang terhormat.”

Masih dalam mimpinya, Rasulullah SAW berpesan kepada ayah Rabi’ah agar menulis sebuah surat kepada gubernur (‘amir) Basrah, “Tulislah: ‘Wahai ‘amir, engkau biasanya membaca shalawat 100 kali setiap malam dan 400 kali setiap malam Jumat. Tetapi, dalam Jumat terakhir ini engkau lupa melaksanakannya. Karena itu, hendaklah engkau membayar 400 dinar kepada yang membawa surat ini sebagai kafarat atas kelalaianmu.’”

Keesokan paginya, ayah Rabi’ah melaksanakan perintah Nabi SAW sebagaimana diperolehnya dalam mimpi. Ia tidak bisa menemui langsung sang gubernur. Karenanya, surat itu dititipkan kepada pasukan penjaga. Namun, justru gubernur Basrah sendiri yang kemudian mendatangi rumah keluarga Rabi’ah al-Adawiyah sambil memberikan uang ratusan dirham. Menurut Sururin, inilah salah satu cara Allah untuk menjaga Rabi’ah sejak dini dari harta yang haram atau syubhat.

Sejumlah Karomah Rabi’ah al-Adawiyah


 adapun karomah yang di anugrahkan allah swt kepada Rabi’ah al-Adawiyah adalah . Pemikiran dan laku spiritualnya terus dikaji hingga hari ini. Berbagai macam kisah hidupnya pun sudah banyak dikupas dan ditulis dalam banyak buku. dan ini patut di contoh tenteng seorang hambah karena kecintaan kepada allah melebihih kecintaan kepada dunia beserta isi nya.

Termasuk soal ajaran cinta (mahabbah). Selain Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi yang mengusung mazhab cinta. Cintanya kepada Allah begitu dalam dan kuat. Sehingga ia tidak mampu mencintai yang lainnya karena cintanya hanya untuk Allah.

Rabi’ah menyembah Allah dengan dasar cinta (hubb), bukan karena takut atau harap (roja’ dan khauf) sebagaimana kebanyakan orang. Karena saking cintanya kepada Allah, Rabi’ah pernah berujar bahwa ia tidak mendambakan surga dan tidak takut kalau dimasukkan neraka.

Rabi’ah dikenal sebagai sebagai hamba yang sangat patuh dan taat kepada Allah. Bahkan, setiap hembusan nafasnya selalu diiringi dengan dzikir kepada Allah. Dalam urusan beribadah kepada Allah, ia adalah orang sangat istiqomah. Ketaatan yang begitu tinggi kepada Allah membuatnya dikenal sebagai waliyullah (wali Allah).

Memang, ada ungkapan bahwa hanya wali Allah yang mengetahui wali Allah lainnya (la ya’riful wali illa wali). Tapi sebagaimana yang dikemukana oleh Syekh Zarruq, setidaknya ada tiga sifat yang dimiliki seorang wali; mengutamakan Allah, (hatinya) berpaling dari makhluk-Nya, dan berpegang tegug pada syariat Nabi Muhammad SAW dengan benar. Jika merujuk pada indikator ini, maka Rabi’ah adalah memang seorang waliyullah.

Selain ketiga tanda tersebut, seorang waliyullah ‘biasanya’ memiliki karomah (sesuatu yang berbeda dari sewajarnya). Dalam hal ini, Rabi’ah juga memiliki cerita dan kisah yang menggambarkan karomahnya. Berikut adalah sejumlah karomah yang dimiliki oleh Rabi’ah al-Adawiyah sebagaimana yang tercantum dalam buku Rabi’ah; Pergulatan Spiritual Perempuan karya Margaret Smith.

Pertama, ketika Rabi’ah sedang jalan-jalan di sebuah pegununang, ada banyak binatang buas yang mendekatinya. Anehnya, binatang-binatang tersebut tidak menyerang Rabi’ah dan sangat jinak kepadanya. Mereka bermain bersama. Tiba-tiba, Hasan al-Basri muncul dan mendekati Rabi’ah. Seketika binatang-binatang buas tersebut menampakkan wajah buasnya dan pergi meninggalkan Hasan al-Basri.

Kedua, suatu hari Rabi’ah melakukan perjalanan haji ke baitullah Mekkah dengan menaiki unta. Di tengah jalan, unta yang dinaiki tersebut mati. Langsung saja, Rabi’ah berdoa kepada Allah. Tidak lama setelah itu, untanya hidup kembali. Rabi’ah pun melanjutkan perjalanan hingga sampai ke baitullah dan pulang dengan menaiki unta yang sama, unta yang pernah mati itu.

Ketiga, suatu malam ada dua orang teman Rabi’ah yang datang  kerumahnya. Mereka hendak melakukan diskusi bersama dengan Rabi’ah. Na’asnya, rumah Rabi’ah tidak memiliki lampu penerang. Lalu Rabi’ah meniup ujung jari-jarinya hingga kemudian mengeluarkan cahaya yang terang dan menerangi seluruh rumahnya sepanjang malam. Dengan demikian, mereka bisa berdiskusi hingga pagi hari.

Keempat, pada suatu malam rumah Rabi’ah didatangi oleh tamu yang tidak diundang. Tamu tersebut hendak mencuri pakaian Rabi’ah. Ketika sudah mengangkut semua baju Rabi’ah dan hendak kabur, pencuri tersebut bingung karena tidak menemukan pintu keluar. Namun, ketika sang pencuri meletakkan barang curiannya tersebut, ia menemukan ada pintu keluar. Sang pencuri mengulang perbuatannya itu –mengambil dan meletakkan barang Rab’iah- sebanyak tujuh kali.

Hingga akhirnya sang pencuri mendengar ada hatif (suara tanpa rupa) yang mengatakan; Wahai manusia, jangan engkau persulit dirimu sendiri. Perempuan ini telah mempercayakan dirinya kepada Kami selama bertahun-tahun. Setan pun tidak berani mendekatinya. Mendengan suara itu, pencuri tersebut lari terbirit-birit tanpa membawa secuil barangpun dari rumah Rabi’ah.

Kelima, suatu hari Hasan al-Basri mengajak Rabi’ah al-Adawiyah untuk salat di atas air. Rabi’ah merespons ajakan Hasan itu dengan sebuah jawaban yang ketus. Bagi Rabi’ah, adalah tidak perlu menunjukkan kemampuan spiritual untuk mencari kepopuleran duniawi. Tidak hanya itu, Rabi’ah kemudian melemparkan sajadahnya dan terbang di atasnya. Ia mengajak Hasan untuk naik di atas bersamanya sehingga lebih banyak orang yang mengetahuinya, daripada hanya sekedar salat di atas air. Hasan tahu jawaban yang diutarakan Rabi’ah itu adalah sindirian. Mendengar hal itu, Hasan hanya terdiam.

Selain kelima cerita di atas, tentu masih banyak lagi kisah-kisah yang menceritakan tentang karomah Rabi’ah al-Adawiyah. Namun satu yang perlu diketahui bahwa karomah yang diberikan kepada Rabi’ah adalah tanda bahwa Allah memberkahinya. dan memberi kemuliaan kepada Rabi’ah al-Adawiyah.

Tasawuf atau sufisme

penjelasaan mengenai tawasuf atau sufisme telah di jabarkan pada bab terdahulu tentang pengertian tasawuf.Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.

Membicarakan sufi dan tasawuf tidak boleh lain, kecuali sedang membicarakan orang yang lebih mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa, lebih mengutamakan perilaku untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) agar lebih bisa untuk sampai kepada Sang Khalik sebagai tempat kembalinya. Seluruh dimensi hidupnya dipenuhi dengan kondisi dan keadaan jiwa yang selalu berzikir dari lisan, akal hingga hati.

Tasawuf atau sufisme ialah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisme dalam Islam. Tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi dengan Allah dan hanya dirinya yang tahu perasaan kedekatan tersebut karena tasawuf berada dalam batin yang orang lain tidak tahu, yang mana tujuan dari tasawuf/mistisme ini untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan dan intisarinya merupakan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan.

Maka tidak heran, ada orang yang beranggapan bahwa beberapa sufi telah keluar dari Islam dan dituduh telah sesat serta karya-karyanya dibakar. Ajaran sufi tidak sanggup dicerna oleh orang awam atau orang-orang yang kurang memahami tasawuf secara mendalam, lihat saja sufi al-Hallaj dipancung dan karya-karya sufi besar Hamzah Fansuri dibakar.

Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kedekatan manusia dengan Allah. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 186, Allah berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Dengan tasawuf seorang sufi bisa bertaqarrub dengan Allah sesuai dengan ajaran tasawuf tersebut, maka setiap ajaran dalam tasawuf tidak terlepas dari tokoh (sufi) yang mengajarkannya baik dalam tasawuf beraliran sunni maupun falsafi. Salah satu sufi (zahid) tersebut adalah sufi Rabi’ah al-Adawiyah yang terkenal dengan ajaran tasawufnya al-mahabbah, mahabbah adalah cinta, maksudnya adalah cinta kepada Allah.

Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat. Pertama, cinta biasa. Cinta yang selalu mengingat Allah dengan zikir dan senantiasa memuji Allah. Kedua, cinta orang yang siddiq. Orang yang kenal kepada Allah, pada kebesaran-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta tingkat ketiga yaitu cinta orang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Allah. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Allah.

Tasawuf dengan paham mahabbah ini mempunyai dasar dalam Alquran, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 54 “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”.

Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-Qaisiyah hidup pada abad kedua hijriyah, lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 714 M dan wafat pada tahun 801 M, sumber lain menyebutkan wafat pada tahun 796 M di kota tersebut. Hidup pada tahun kedua hijriah, bisa dibilang ajaran tasawuf Rabi’ah berada dalam aliran sunni karena berada dalam periode sufi awal. Menurut Hamka pada abad ketiga dan keempat tasawuf sudah berkembang dan pembahasannya lebih bersifat filosofis. Oleh karena itu, tasawuf abad ketiga dan seterusnya lahir aliran tasawuf falsafi, sementara abad kedua ke bawah masih berada dalam tasawuf sunni.

Ajaran tasawuf al-mahabbah yang dibawa Rabi’ah merupakan kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan al-Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci dan murni lebih tinggi daripada takut dan pengharapan, cinta yang suci murni tidaklah mengharapkan apa-apa. Rabi’ah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud, beribadah, dan hanya ingin dekat dengan Tuhan.

Cinta murni kepada Allah merupakan puncak tasawuf Rabi’ah, kecintaan Rabi’ah kepada Allah terekam dalam bentuk dialog atau munajatnya dengan gaya bahasa sastra yang bernilai tinggi, sebagaimana terlihat dalam syair-syair berikut ini:

“Aku cinta pada-Mu dua macam cinta; cinta rindu dan cinta. Karena Engkau berhak menerima cintaku. Adapun cinta, karena Engkau, hanya Engkau yang aku kenang tiada lain. Adapun cinta, karena Engkau berhak menerimanya. Agar Engkau bukakan bagiku hijab, supaya aku dapat melihat Engkau. Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku, pujian atas kedua itu adalah bagi-Mu sendiri.”

“Kekasih hatiku hanya Engkaulah yang kucinta, beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapan, kebahagiaan dan kesenanganku. Hati telah enggan mencintai selain dari diri-Mu.”

Pengertian cinta yang dipahami oleh Rabi’ah lebih mendalam dibandingkan dengan para sufi lain, kedalaman cinta inilah yang dapat memalingkan diri dari segala sesuatu yang selain Allah. Dalam do’anya tidak meminta tidak dijauhkan dari neraka dan tidak pula meminta dimasukkan ke dalam surga karena yang diminta Rabi’ah hanyalah dekat dengan Allah.

“Tuhanku, bila aku mengabdi pada-Mu karena takut dari siksaan api neraka-Mu, campakkanlah aku kesana. Andai kata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar masuk ke dalam surga-Mu, jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata aku menyembah-Mu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah Kau tutup wajah-Mu dari pandanganku.”

Rabi’ah adalah sufi yang sangat mencintai Allah sehingga tidak ada ruang lagi untuk cinta kepada yang lain, untuk bisa mencapai maqam al-mahabbah seperti Rabi’ah butuh usaha, latihan, dan perjuangan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabi’ah mengatakan “Pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh orang awam, memahami Rabi’ah sangat sulit.”

Mengutip perkataan Hakim al-Ummat Hazrat Maulana Asyraf Ali Thanvi menyatakan bahwa “Makanan perut adalah makanan dan minuman, maka makanan bagi hati adalah cinta. Jadi hati memperoleh makanan dan kebahagiaan dari cinta.” Maka tidak heran, bagi Rabi’ah rasa cinta kepada Allah merupakan kebahagiaan bagi dirinya dan menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Oleh karena itu, dengan pahamnya al-mahabbah (cinta) Rabi’ah dikenang sebagai “Ibu para sufi besar

No comments:

Post Top Ad

Your Ad Spot