kisah Al-Hallaj - kisah islami

ilmu pengetahuan tentang islam

Post Top Ad

Your Ad Spot

Saturday, May 25, 2019

kisah Al-Hallaj

kisah Al-Hallaj

assalamualikum wr. wb kita pasti tau atau pernah mendengar cerita tentang al hallaj bagaimana cerita dan kehidupan al hallaj sebagian ulama mengatakan ajaranya al hallaj tentang sufi ada yang masuk di akal kita dan ada juga yang tidak di masuk akal pikiran kita mungkin ilmu dan pemahaman agama yang dangkal mengatakan ajaran al hallaj tergolong salah dan sebagian ulama sufi mengatakan ajaran al hallaj benar dengan catatan apakah kita sampai pada maqam nya.ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama pada masa itu.
seperti apa awal mulanya, Husain ibn Manshur mendapat sebutan Al-Hallaj, sebuah nama yang berarti pengais (khususnya kapas). Dari cerita buku Tadzkiratul Awliya karya Fariduddin Aththar, pada suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas.

Kemudian secara tak sengaja ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas lalu betapa mengherankan dan menakjubkannya. Biji-biji buah kapas itu pun terpisah dari serat kapasnya. Selain hal tersebut dia juga dijuluki Hallaj Al-Asrar—pengais segenap kalbu—karena dia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.

Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada saat usianya lima puluh tahun, Al-Hallaj memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktik apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Dia tidak pernah meninggalkan salat wajib, dengan salat wajib dia melakukan wudhu jasmani secara sempurna. Ketika Al-Hallaj mulai menempuh jalan ini, dia hanya mempunyai sehelai jubah tua dengan penuh tambalan dan dia pakai selama bertahun-tahun.

Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan ternyata ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya, anehnya ketika ditimbang jubah tersebut beratnya hanya setengah ons. Kezuhudan Al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya dia menjalin hubungan yang sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Makkah, Al-Hallaj melihat orang-orang bersujud dan berdoa,

    “Wahai Engkau Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar.”

Kisah penangkapan dan eksekusi Al-Hallaj sangatlah menyentuh kalbu. Pada suatu waktu, dia berkata kepada sahabatnya, As-Syibli, bahwa dia sibuk dengan sebuah tugas yang teramat penting dan bakal membawa dirinya pada ajal di ujung kematiannya. Ketika dia sudah termasyhur dengan berbagai keajaibannya yang dibicarakan orang dimana-mana, Al-Hallaj kemudian memiliki pengikut dan musuh yang sama banyaknya. Sehingga sampai akhirnya, khalifah mendengar dan bahkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Al-Hallaj mengucapkan kata-kata yang berkekuatan bid’ah luar biasa. “Ana Al Haqq” – Akulah Kebenaran.”
Banyak musuh Al-Hallaj sengaja menjebaknya untuk mengucapkan Dia-lah Kebenaran, namun dia hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (Al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian”.

Jauh hari sebelum tahun penangkapan dan eksekusinya, kala al-Hallaj masih belajar di bawah bimbingan Junaid, dia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Tahun-tahun pun berlalu, kemudian dia datang lagi menemui Junaid dengan mengajukan sejumlah pertanyaan. Dari salah satu jawaban Junaid ada satu yang cukup mengerikan. Junaid mengatan, tak lama lagi Al-Hallaj akan melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri.

Tampaknya, ramalan itu benar-benar terjadi. Pernah juga Junaid ditanya tentang apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan akan mampu untuk menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah dia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan.”

Lalu Al-Hallaj pun dijebloskan ke dalam penjara. Pada malam pertama dia dipenjara, para sipir kebingungan mencari-carinya. Semua sipir merasa heran karena sel tempat Al-Hallaj kosong. Malam kedua, bukan hanya Al-Hallaj yang hilang, akan tetapi penjaranya pun hilang! Berikutnya di malam ketiga, tidak terjadi apa-apa dan semuanya kembali normal. Para sipir penjara bertanya, di mana engkau pada malam pertama? Al-Hallaj dengan sangat tenang menjawab, “Pada malam pertama aku ada di kehadirat Allah, maka dari itu aku tidak berada di sini, selanjutnya pada malam kedua, Allah berada di sini, untuk itu aku dan penjara ini tidak ada. Di malam ketiga aku di suruh-Nya kembali!” Semua sipir hanya terdiam membisu.

Beberapa hari sebelum dieksekusi, suatu malam Al-Hallaj menemui sekira tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dalam keadaan dibelenggu. Al-Hallaj bilang kalau dia bakal membebaskan mereka semua. Mereka semua heran karena dia berbicara hanya tentang kebebasan teman-teman narapidananya (orang lain), tapi justru dia tidak perduli dengan kebebasan dia sendiri. Al-Hallaj berbicara pada para napi dengan lantang:

    “Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian dia menunjuk belenggu-belenggu di tangan para napi dengan jarinya, dan semua belenggu pun terbuka.

Para narapidana pun heran, namun mereka menyampaikan bersama-sama. Bagaimana mungkin mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci rapat. Lalu Al-Hallaj menunjukkan jari ke arah tembok, maka terbukalah tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?” tanya mereka “Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!” jawabnya.
Esok hari berikutnya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi pada para narapidana lainnya. Al-Hallaj menjawab dengan tanpa beban, bahwa dia telah membebaskan mereka semua. “Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” pertanyaan para sipir. “Mereka semua mencela dan menyalahkanku, karena aku memilih harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman,” jawabnya. Sang khalifah pun mendengar laporan tersebut, lantas berpikirlah khalifah bahwa Al-Hallaj bakal menimbulkan malapetaka bagi negeri.

Untuk itu, paduka memerintahkan, “Bunuh dan cambuklah sampai dia menanggalkan kesombongannya!” Akhirnya Al-Hallaj pun dicambuk tiga ratus kali dengan rotan. Di setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengarlah suara gaib dari langit, “Jangan takut, tegarkan hatimu hai putra Manshur”. Mengenang peristiwa hari itu, seorang sufi bernama Syekh Shaffar, mengatakan, aku lebih percaya pada akidah sang algojo daripada akidah Al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan hukum Ilahi, sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.

Al-Hallaj digiring oleh algojo untuk di eksekusi. Ribuan masyarakat berkumpul untuk menyaksikan. Tatkala Al-Hallaj melihat ribuan orang berkerumun, maka dengan lantang dia berteriak; “Haqq, Haqq, Ana Al-Haqq—Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran.” bersamaan itu, muncullah seorang darwis lalu memohon pada Al-Hallaj untuk diajari tentang cinta. Al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.
Di situ juga hadir As-Syibli sahabatnya yang bertanya pula, “Apa itu sebenarnya tasawuf?” Al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat ini adalah tingkatan tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?” tanya Syibli selanjutnya. “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!”, jawab Al-Hallaj tegas.
Ketika sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepada Al-Hallaj untuk bertanya, “Engkau bilang Aku dan Aku juga bilang Aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan Aku, kutukan abadi?” Jawaban Al-Hallaj, “Engkau bilang Aku dan kau melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari ke-Akuan-Ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan.

    “Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik.”

Kerumunan orang mulai melempari batu pada Al-Hallaj. Sungguh aneh, saat As-Syibli melempar bunga untuk pertama kalinya, Al-Hallaj menjerit kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau tidak menjerit dan kesakitan ketika dilempari batu, tapi kenapa lemparan sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan, kenapa? Al-Hallaj menjawab, “Orang-orang yang jahat dan bodoh bisa dimaafkan. Betapa sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran dia tahu bahwa seharusnya dia tidak melakukan itu.”

Tibalah saatnya sang algojo memotong kedua tangannya. Al-Hallaj malah tertawa liar sambil berkata, “Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah.” (Dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Dilanjutkan oleh sang algojo memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tetap tegar berkata,

    “Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!”

Al-Hallaj kemudian berwudhu, mengusapkan kedua lenganya yang telah buntung kewajahnya, sehingga wajah itu bersimbah darah. “Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?” tanya banyak orang. “Karena aku ingin menyucikan diriku dari darah-Nya yang mengalir dan atas nama serta kehendak-Nya semata. Aku sedang berwudhu. Sebab dalam salat cinta yang ada hanyalah penyatuan, dan wudhunya harus dilakukan dengan darah.” Kata-kata terakhirnya yang diucapkannya; Bagi mereka yang ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu kekasih.”
Tatkala mereka sampai ke tiang gantungan di Bab at-Taq, Hallaj mencium panggung itu sebelum naik ke atasnya. “Bagaimana perasaanmu saat ini?” mereka mengompori Hallaj. “Kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah berada di puncak tiang gantungan,” jawab Hallaj.

Saat itu, Hallaj mengenakan cawat dan mantel. Dia menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan berdoa kepada Allah swt. “Yang diketahui-Nya tak diketahui oleh siapa pun juga,” kata Hallaj dan naik ke tiang gantungan.

    Syibli datang dan berdiri di depan Hallaj. “Apakah sufisme itu, Hallaj?”

    “Bagian terendah dari sufisme adalah hal yang dapat kau saksikan ini,” jawab Hallaj.

    “Lantas, bagian yang lebih tinggi?” tanya Syibli.

    “Bagian itu tidak akan terjangkau olehmu,” jawab Hallaj.

Kemudian semua penonton mulai melempari Hallaj dengan batu. Agar sesuai dengan perbuatan orang halai-balai, Syibli melontarkan sekepal tanah dan Hallaj mengaduh. “Engkau tidak mengeluh ketika dilempari batu,” tanya orang. “Namun mengaduh karena kepalan tanah?” Hallaj menjawab, “Karena orang-orang yang merajamku dengan batu tidak menyadari perbuatan mereka. Mereka dapat dimaafkan. Akan tetapi, tanah yang dilemparkan ke tubuhku itu sungguh menyakitkan, karena ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukan hal ihwal itu.”

Lalu, kedua tangan Hallaj dipotong, tetapi dia tertawa dan berkata, “Memotong tangan seseorang yang terbelenggu adalah mudah”. Menurut Hallaj, seorang manusia sejati adalah orang yang memotong tangan yang memindahkan mahkota aspirasi dari dahi Singgasana. Kemudian kedua kakinya dipotong. Hallaj tersenyum.

“Dengan kedua kaki ini aku berjalan di muka bumi. Aku masih mempunyai dua kaki lain, dua kaki yang saat ini sedang berjalan menuju surga. Jika kalian sanggup, putuskanlah kedua kakiku yang itu!” tantangnya.

Lantas kedua tangannya yang buntung disapukannya ke muka, sehingga wajah dan lengannya basah oleh darah. ”Mengapa engkau membasahi lenganmu dengan darah?” tanya orang-orang. “Aku sedang berwudhu. Jika seseorang hendak sembahyang sunah dua rakaat karena cinta kepada Allah, berwudhunya tidak cukup sempurna jika tidak menggunakan darah,” yakin Hallaj.

Kemudian kedua bola matanya dicungkil. Kehebohan terjadi. Sebagian menangis dan sebagian lagi terus melemparinya dengan batu. Kemudian, telinga dan hidungnya dipotong. Saat lidahnya akan dipotong, muncullah seorang perempuan berida yang sedang membawa kendi. Melihat keadaan Hallaj, si kamitua berseru, “Pukullah keras-keras. Apakah hak si pencukur domba ini berbicara mengenai Allah?”
Kata-kata terakhir yang diucapkan Hallaj ialah, “Cinta kepada Yang Maha Esa adalah melebur ke dalam Yang Esa.” Selanjutnya dia menyenandungkan ayat “Orang-orang yang tidak memercayai-Nya ingin segera mendapatkan-Nya, tetapi orang-orang yang memercayai-Nya takut kepada-Nya, sedang mereka mengetahui kebenaran-Nya”. Itulah ucapannya yang pamungkas.

Arkian, mereka memotong lidahnya. Tatkala tiba saatnya sembahyang, barulah mereka memenggal kepala al-Hallaj. Setelah disembelih, Hallaj masih nampak tersenyum. Sesaat kemudian dia pun mati.

Sang pengembara


Abu Mughits al-Husain bin Mansur al-Hallaj adalah tokoh paling kontroversial di dalam sejarah mistisisme Islam. Lahir kira-kira pada 244 Hijriah (858 M) di dekat kota al-Baiza, provinsi Fars. Hallaj suka mengembara sangat jauh.

Khotbah-khotbahnya yang berani mengenai bersatunya manusia dengan Allah membuatnya dijatuhi hukuman kurungan, dengan tudungan telah menyebarkan ideologi inkarnasionisme. Hallaj dihukum mati dengan bengis yang dilaksanakan pada 29 Dzulkaidah 309 H atau 28 Maret 913 M.

    Hallaj menulis beberapa buku dan banyak syair. Dia menjadi legenda muslim sebagai prototipe dari kekasih-Allah yang “mabuk”.

Penyair sufi, Fariduddin Attar mengisahkan dengan cerkas dan puitik kisah hidup al-Hallaj dalam kitabnya, Tadzkiratul Aulia (2018: 314-24). Menurut Attar, Husain al-Mansur, yang dijuluki al-Hallaj –berarti Pemangkas Buku Domba– awalnya pergi ke Tustar, tempat dia mengabdi kepada Sahal bin Abdullah selama dua tahun. Setelah itu dia pindah ke Bagdad. Al-Hallaj memulai pengembaraannya ketika berusia delapan belas tahun.

Setelah itu, dia pergi ke Bashrah dan mengikuti Amr bin Utsman selama delapan belas bulan. Yaqub bin Aqtha menikahkan putrinya dengan Hallaj, dan pasca pernikahan itulah Amr bin Utsman menunjukkan ketidaksenangannya kepada Hallaj. Lantas, Hallaj meninggalkan kota Bashrah dan pergi ke Bagdad guna mengunjungi Junaid. Junaid menyuruh Hallaj bertirakat.

Setelah beberapa lama menjadi murid Junaid, dia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di Mekkah selama setahun, lalu kembali lagi ke Bagdad. Bersama kelompok sufi, dia mendengarkan ceramah-ceramah Junaid dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak dijawab oleh Junaid.
Akan segera tiba waktunya,” ujar Junaid kepada Hallaj, “ketika engkau membasahi sepotong kayu dengan darah.” “Sewaktu aku membasahi sepotong kayu itu, engkau akan mengenakan pakaian golongan formalis,” balas Hallaj.

Kata-kata mereka kelak terbukti kebenaran. Sewaktu para cendekiawan tersohor bersepakat bahwa al-Hallaj harus dihukum, Junaid sedang mengenakan jubah sufi dan karena itu dia tidak mau memberikan tanda tangannya. Khalifah menyatakan, bahwa mereka perlu mendapatkan tanda tangan Junaid. Lantas Junaid pun mengenakan serban dan jubah kaum ilmuwan. Kemudian dia kembali ke madrasah dan menandatangani surat keputusan itu.

Hallaj jengkel terhadap Junaid yang tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Dia pun pergi menuju Tustar tanpa pamit. Di sana dia tinggal selama satu tahun dan mendapat sambutan luas. Karena Hallaj tidak peduli terhadap doktrin nan populer kala itu, para teolog sangat membencinya.

Sementara itu, Amar bin Utsman menyurati orang-orang Khuzistan dan menjelek-jelekkan nama Hallaj. Namun Hallaj sendiri sudah bosan di tempat itu. Dia melepaskan pakaian sufinya dan mencebur ke dalam pergaulan masyarakat yang mementingkan duniawi. Akan tetapi, pergaulan ini tak memengaruhi dirinya.

Selama lima tahun Hallaj menghilang. Sebagian dari periode itu dilewatkannya di Khurasan dan Transoxiana, dan sebagian lagi di Sistan. Lalu dia kembali ke Ahwaz.

Setelah itu, Hallaj mengenakan jubah darwis yang lusuh dan pergi ke tanah suci bersama-sama orang-orang yang berpakaian seperti dirinya. Di Mekkah, Yaqub an-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Akhirnya Hallaj kembali ke Basrah dan setelah itu ke Ahwaz. assalamualikum wr.wb mudahan bisa di mengerti dan mudah di pahami sampai sekarang kisah kisah tentang al hallaj banyak di pelajari oleh sebagian orang. saya menyarankan alangkah baik nya kita mencari mursyid yang benar benar memahami ajaran tasawuf dan sufi. ilmu ini bagaikan telur di ujung tanduk jika salah penafsiranya membawa kita kepada kesesatan.

No comments:

Post Top Ad

Your Ad Spot